Continue Of -3-

“Pagi, Jenny!” Reno datang menghampiriku bersama seorang cowok dan mereka berdua duduk di kursi yang ada di hadapanku.
“Ci ileh! Udah nggak manggil kakak lagi ya?” Ledek cowok yang datang bersama Reno sambil meninju bahu Reno.
“Kenalin ini Zlatan, sahabatku.” ujar Reno mengenalkan cowok itu padaku.
“Zlatan.” dia menyebutkan namanya dan mengulurkan tangannya padaku.
“Jenny.” aku menyambut uluran tangan itu dan kembali melahap sarapanku.
“Zlatan ini sahabat aku sejak kecil.” jelas Reno setelah dia kembali dan membawa sarapan untuk dirinya dan Zlatan.
“Reno udah banyak bantu gue, saat semua orang di panti musuhin gue cuma Reno yang mau jadi teman gue, jadi loe nggak salah milih dia.” Zlatan melanjutkan penjelasan Reno setelah berterima kasih karena telah membawakan makanan untuknya “Gue gak usah panggil kakak ya! Toh Reno juga panggil nama loe.” lanjutnya kemudian.
“Terserah loe aja.” jawabku sambil membersihkan kedua tanganku yang berminyak.
“Gue jalan dulu ya!” pamit Zlatan.
“Sarapanya gak di habisin, Tan?” tanya Reno ketika Zlatan berdiri dari duduknya.
“Gue udah hampir telat.” jawabnya singkat “Jalan dulu ya, Je” Zlatan mengedipkan sebelah matanya padaku sebelum pergi meninggalkan kantin.
“Pasti deh kamu nggak suka dia.” tebak Reno tanpa melepaskan pandanganya dari Zlatan yang kian menjauh.
“Kenapa kamu bisa nebak semua yang aku pikirin?” keluhku.
“Karena kamu nggak beda jauh sama dia, aku udah menghabiskan seluruh hidupku bersama Zlatan dan selama itu nggak ada yang bisa dia rahasiakan dari aku.”jelas Reno sedikit tersenyum.
“Trus apa hubunganya sama aku?” balasku ketus.
“Jangan cemberut gitu sayang! Keliatan jelek tau.” goda Reno “Aku udah kenal Zlatan dari kecil dan gak aneh kalau aku bisa nebak apa yang dia pikirin, kalau kamu. . .” lanjutnya.
“Aku kenapa?” aku berpindah untuk duduk disampingnya dan menatap matanya.
“Aku bisa nebak apa yang kamu pikirin, karena aku cinta sama kamu.” jawabnya singkat dan aku hanya bengong “Jalan yu! Ntar telat, lho.” Reno menarik lenganku dan kami berjalan beriringan ke kelas.
“Boleh nanya gak?”
“Apa?”
“Apa yang kamu suka dari aku?”
“Kalau kamu, apa yang kamu suka dari aku?”
“Kok malah balik nanya.”
“Jawab aja!”
“Mungkin karena kamu ngasih aku coklat.”
“Simpel banget, nggak ada alasan yang lebih spektakuler.”
“Kayaknya nggak deh. Just it dear!”
“Sama, nggak perlu alasan buat aku jatuh cinta sama kamu.”
“Trus, apa maksudnya kamu belajar mati-matian biar bisa nyamain sks aku” sindirku, sedikit tersenyum pada Reno yang salah tingkah.
“Kalau nggak bisa nyainggi kamu, taruhan kalau kamu nggak akan pernah ngelirik aku yang udah jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali kita ketemu.”
“Pertama kali ketemu kamu awal semester ini kan?”
“Kamu aja yang nggak peka lingkungan, aku udah ngelirik kamu sejak pertama kali aku masuk kampus ini dan setiap aku nyari perhatian kamu, aku di cuekin. Dasar bebek!”
“Apa hubungannya sama bebek?” protesku “Aku mencurahkan seluruh perhatianku buat belajar agar bisa melanjutkan perusahaan papaku dan aku juga harus menemukan adikku.” aku tidak dapat menyembunyikan airmata yang muncul di sudut mataku.
“Kita bahas ntar aja ya!” ujar Reno sambil menghapus air mataku. “Sekarang belajar dulu, kan kamu nggak mau kalah saing sama aku.” Reno tersenyum usil saat aku meliriknya.
“Gitu dong! Tau gak, yang bikin aku suka kamu itu senyum kamu lho.” lanjut Reno ketika melihat aku tersenyum.
“Reno dan Jenny silahkan keluar! Saya lihat kalian tidak memerlukan kuliah dari saya lagi.” teguran pak Sugandi membuatku kaget, kenapa aku harus bermasalah dengan dosen yang berkepala seperti kincir angin ini lagi, nggak bisa jawab pertanyaan yang sudah pasti bisa di jawab oleh anak SMP dan sekarang di usir dari kelas.
“Makasih ya pak!” ujar Reno memecahkan lamunanku dan dengan cekatan membereskan buku-buku yang ada di meja lalu menarikku keluar dari ruangan ini dan Pak Sugandi dengan tatapan heran menyaksikan hal ini tanpa dapat mencegahnya.
“Reno! Kenapa kita keluar? Aku masih mau belajar.” aku melepaskan tangan Reno dan berlari kembali ke kelas, namun Reno lebih cepat dariku.
“Jen, lihat dari sisi positif aja! Kamu nggak konsentrasi belajar.” ujar Reno dan membawaku menjauh dari kelas.
“Aku akan bantu kamu untuk menemukan Jaime!” ujar Reno setelah kami duduk di salah satu kursi taman “Sekarang kamu udah nggak sendiri lagi, Jen! Aku akan selalu ada buat kamu” tegasnya ketika aku mengangkat kepala setelah mendengar pernyataanya tentang adiku.
“Makasih, Ren” aku melingkarkan lenganku di lehernya dan merebahkan kepalaku di bahunya.

“Jangan pernah anggap aku orang lain lagi ya? Karena mulai sekarang aku adalah keluarga kamu.” ujar Reno dan mengelus rambutku “Nah, sekarang jangan nangis lagi ya!” Reno melepaskan pelukanku dan menghapus air yang telah membanjiri pipiku.
“Aku nggak tau harus bilang apa sama kamu, Ren?” ujarku tersenyum padanya.
“Kamu cukup ucapkan kata cinta sama aku.” jawab Reno tersenyum geli.
“Mr and Mrs perfect bolos kuliah, Keren. . . Keren. . .” Zlatan tiba-tiba muncul dari balik pohon bersama seorang cewek.
“Ngapain loe disini, Tan?” tanya Reno berusaha menyembunyikan wajahnya yang berubah menjadi merah karena kedatangan Zlatan.
“Inikan wilayah gue, brother!” jawab Zlatan dan berjalan ke arah kami dengan menggandeng mesra cewek itu “Harusnya gue yang nanya, kalian berdua ngapain bolos kuliah?” lanjutnya tanpa bisa menyembunyikan senyum geli yang menghiasi bibirnya.
“Bukan urusan loe!” ujarku garang dan menarik Reno menjauh dari Zlatan dan pacarnya.
“Nggak usah terlalu di pikirin, Zlatan orangnya rada usil dan hampir semua cewek disini pernah jadi pacarnya.” ujar Reno setelah kami berada pada titik jauh dari pendengaran Zlatan.
“Urusanya sama aku apa?”
Reno hanya mengangkat bahu menggambarkan ketidaktahuanya.

You May Also Like

0 Comments